Sebetulnya Indonesia sudah punya IGOS, tetapi gaungnya tidak terlalu terdengar. Seperti yang menristek bilang implementasi IGOS cenderung lambat atau bahkan masih sekedar lip service. Apakah perlu adanya peraturan yang lebih kuat untuk implentasi tersebut? Mungkin akan banyak pihak yang tidak setuju, terutama dari vendor propertiary software. Dan mungkin ada benarnya juga karena hal itu tidak memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak.
Ada jalan lain sebenarnya, seperti yang sedang diproses oleh pemerintah/parlemen Denmark untuk menerapkan open standard terhadap software-software yang dipakai untuk keperluan publik. Dengan cara seperti ini vendor propertiary tidak bisa menghindar untuk mengadopsi open standard. Kalau open standard sudah diterapkan, maka pengguna bisa lebih leluasa menentukan software yang akan dipakai, tidak tergantung pada satu vendor saja.
Tentu kita bisa berdebat bahwa dokumen yang dibuat dengan Words sekarang bisa dibuka dengan OpenOffice.org, jadi tidak perlu lagi hal semacam itu. Untuk saat ini memang benar, tetapi untuk versi Words selanjutnya yang memakai format baru akankah OpenOffice.org bisa mendukung? Hal ini bukan masalah teknis, lebih ke masalah legal karena akan ada perdebatan hukum tentang legalkah kalau OpenOffice.org dan word processor yang lain mendukung format baru Words.
Jadi, saya mengharapkan agar pemerintah kita bisa sebanyak mungkin menggunakan open standard agar ke depan kita tidak terlalu bergantung kepada vendor tertentu.